ANALISIS SIKLUS INTELIJEN CIA DIBALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965 DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEPRESIDENAN SOEKARNO
Diva Puteri Saraswaty
Diva Puteri Saraswaty
1615101212
Abstrak
Intelijen merupakan
bagian dari sistem keamanan nasional yang berfungsi baik untuk
memberikan deteksi dini, peringatan dini, maupun pencegahan dini
melalui pengumpulan informasi, analisis strategis, dan/atau
kegiatan-kegiatan kontra
intelijen
melalui cara-cara cerdas termasuk operasi tertutup. Kegiatan
intelijen memiliki
fokus utama untuk mencegah pendadakan stratejik dan taktis, intelijen
dimaksudkan demi terpeliharanya keutuhan wilayah, kedaulatan negara,
dan keselamatan segenap bangsa.
Central Intelligence Agency atau yang dikenal dengan CIA merupakan
organisasi intelijen Amerika Serikat yang menangani intelijen
internasional. Karena itulah CIA senantiasa mengamati perkembangan
situasi dunia, termasuk Indonesia. Upaya intelijen CIA diindikasikan
tidak terbatas pada pengumpulan informasi, namun CIA merupakan dalang
dibalik terjadinya gerakan 30 September 1965 dan memiliki tujuan
utama untuk menggulingkan kepresidenan Soekarno.
Dalam penelitian ini, dibahas mengenai kegiatan intelijen yang
dilakukan oleh CIA dengan tujuan utama untuk menurunkan Soekarno,
termasuk siklus inteljen yang dilakukan oleh CIA untuk mencapai
tujuan utamanya tersebut. Dibahas pula mengenai alasan mengapa CIA
mendukung akan terjadinya pergantian pemerintahan di Indonesia dan
dampaknya bagi Amerika Serikat.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, CIA berada dibalik
terjadinya Gerakan 30 September 1965. CIA berniat untuk menggulingkan
Soekarno karena tindakan-tindakan Soekarno dianggap tidak sesuai
dengan demokratisasi Amerika dan pada saat itu Amerika tengah dalam
perang dingin dengan Uni Soviet, sehingga Amerika mencegah penyebaran
komunisme di seluruh dunia. CIA melakukan kegiatan intelijennya
melalui Angkatan Darat yang dinilai dapat menghilangkan pengaruh
komunisme di Indonesia.
Kata kunci: G30S, CIA, Penggulingan Soekarno, Intelijen.
BAB I
PENDAHULUAN
-
LATAR BELAKANG MASALAH
Salah satu peristiwa besar yang terjadi di Indonesia adalah peristiwa
yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 yaitu terbunuhnya
7 perwira tinggi militer pada dini hari 1 Oktober 1965. Dari tujuh
korban yang tewas, enam diantaranya adalah jenderal angkatan darat
dan seorang lainnya perwira tinggi. Peristiwa 1 Oktober itu kemudian
disusul dengan beredarnya kabar bahwa sebelum dibunuh para jenderal
ini disiksa dengan keji. Pembunuhan terhadap petinggi Angkatan darat
ini dilakukan dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para
pengawal istana (Cakrabirawa) yang loyal kepada PKI dan pada saat itu
dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung selaku Panglima Komando Strategi
Angkatan Darat pada saat itu. Peristiwa tersebut kemudian disebut
G30S/PKI . “/PKI” menyiratkan bahwa peristiwa tersebut didalangi
oleh pelaku tunggal yaitu PKI, namun terdapat berbagai anggapan bahwa
PKI bukanlah dalang tunggal dalam peristiwa tersebut.
Mengapa terjadi peristiwa G30S adalah suatu hal yang tidak dapat
dijawab dengan mudah. Selama 32 tahun pemerintahan Presiden Soeharto,
rakyat Indonesia diajarkan bahwa G30S adalah tindakan makar Partai
Komunis Indonesia (PKI) untuk menggulingkan pemerintahan Presiden
Soekarno yang diduga memiliki konspirasi dengan Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia, khususnya Angkatan Darat. Di seluruh penjuru
dunia telah diketahui bahwa tindakan makar akan dihadapi dengan
perlawanan bersenjata, maka setelah G30S dilumpuhkan oleh angkatan
darat pimpinan Mayor Jenderal Soeharto, maka terjadi pembersihan
besar-besaran terhadap seluruh anggota PKI maupun pihak disekitarnya
yang diindikasikan terlibat dengan PKI. Soeharto berteori bahwa PKI
harus dihancurkan hingga ke akarnya, sebab partai tersebut telah kali
kedua melakukan pemberontakan, dimana pemberontakan pertama terjadi
di Madiun pada 1948. Pembersihan tersebut bertujuan untuk menutup
rapat peluang PKI untuk kembali melakukan pemberontakan yang
membahayakan bagi kedaulatan Negara.
Setelah jatuhnya orde baru pada Mei 1998, muncul beberapa versi
mengenai peristiwa G30S. Diantaranya: (a)versi Soekarno: G30S
merupakan tindakan segelintir pemimpin PKI yaitu Aidit dan Sjam yang
didukung oleh sejumlah perwira Angkatan Darat (b) versi Cornell
Papers : Peristiwa G30S adalah anti klimaks dari pertikaian antara
PKI dan Angkatan Darat di mana Amerika terlibat didalamnya (c) CIA:
sejumlah Jenderal Angkatan Darat telah dibina oleh pemerintah Amerika
Serikat melalui CIA yang bertujuan untuk menggulingkan Soekarno (d)
PKI: G30S adalah murni pertikaian dalam tubuh Angkatan Darat yang
bermuara pada perebutan kekuasaan dari tangan Soekarno (e) Soebandrio
(Mantan Perdana Menteri 1/Kepala Badan Pusat Intelijen): G30S
merupakan keberhasilan Soeharto menyingkirkan para jenderal
saingannya yaitu Jenderal Ahmad Yani dan Jenderal Nasution di
Angkatan Darat sekaligus merebut kepresidenan Soekarno dengan
memanfaatkan beberapa mantan anak buahnya yaitu Letnan Kolonel Untung
dan Kolonel Latief.
Dalam berbagai pendapat dan perspektif tersebut, tidak ada paling
benar dan paling salah. Peristiwa G30S begitu kompleks dan pelaku
yang terlibat dalam peristiwa tersebut demikian banyak. Sehingga pada
dasarnya merupakan suatu sejarah yang berkesinambungan dari interaksi
antara sejarawan dan fakta-fakta yang dimiliki yang didukung oleh
data, fakta dan argumentasi yang logis dan rasional.
Berdasarkan permasalahan tersebut, peneliti akan melakukan penelitian
mengenai siklus intelijen yang dilakukan oleh CIA dalam peristiwa
G30S yang dalam hal ini dikhususkan kepada keterlibatan CIA dibalik
peristiwa tersebut yang ditujukan untuk menggulingkan masa
kepresidenan Soekarno. Hal ini dikarenakan timbulnya kecemasan pihak
Amerika Serikat akan kemungkinan keretakan hubungan antara Amerika
Serikat dan Republik Indonesia yang disebabkan karena Soekarno
semakin dekat dengan Partai Komunis Indonesia dan Angkatan Darat yang
secara tradisional merupakan lawan PKI terpuruk dalam permasalahan
internal. Selain itu, hubungan yang buruk antara Amerika Serikat dan
Indonesia menyebabkan perkebunan karet dan perusahaan-perusahaan
Amerika Serikat terancam diambi alih oleh pemerintah Indonesia juga
adanya pemutusan hubungan diplomatik antara Indonesia dan Amerika
Serikat yang berakibat pada pemutusan hubungan di segala sektor.
BAB II
LANDASAN TEORI
-
INTELIJEN SEBAGAI KEGIATAN
Intelligence is knowledge,
demikian secara generik menurut kamus. Jargon militer mengartikan
-intelligence is foreknowledge. – kemampuan ”weruh sadurunge
winarah” yang dapat diartikan sebagai kemampuan
melihat sesuatu yang belum terjadi. Yaitu kemampuan memandang masa
depan dengan jelas, terarah, terukur dan terencana.
Menurut Pasal 1 Undang Undang Republik Indonesia Nomor
17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, Intelijen
adalah
pengetahuan,
organisasi,
dan
kegiatan
yang terkait
dengan
perumusan
kebijakan,
strategi
nasional,
dan
pengambilan
keputusan
berdasarkan
analisis
dari informasi
dan
fakta
yang terkumpul
melalui metode
kerja untuk
pendeteksian
dan
peringatan
dini dalam
rangka pencegahan,
penangkalan,
dan penanggulangan
setiap ancaman
terhadap
keamanan
nasional.
Jadi, Intelijen
merupakan bagian dari sistem keamanan nasional yang berfungsi baik
untuk memberikan deteksi dini, peringatan dini, maupun pencegahan
dini melalui pengumpulan informasi, analisis strategis, dan/atau
kegiatan-kegiatan kontra-intelijen melalui cara-cara cerdas termasuk
operasi tertutup. Dengan fokus utama untuk mencegah pendadakan
stratejik dan taktis, intelijen dimaksudkan demi terpeliharanya
keutuhan wilayah, kedaulatan negara, dan keselamatan segenap bangsa.
Kegiatan atau dapat pula
disebut aktivitas memiliki beberapa pengertian. Dalam filsafat,
aktivitas adalah suatu hubungan khusus manusia dengan dunia, suatu
proses yang dalam perjalanannya manusia menghasilkan kembali dan
mengalihwujudkan alam, karena ia membuat dirinya sendiri subyek
aktivitas dan gejala-gejala alam objek aktivitas. Dalam psikologi,
aktivitas atau kegiatan adalah sebuah konsep yang mengandung arti
fungsi individu dalam interaksinya dengan sekitarnya. Dalam
Penjelasan Undang Undang nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen
Negara, Intelijen sebagai kegiatan atau aktivitas diartikan sebagai
semua usaha, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan penyelenggaraan fungsi
penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan.
Intelijen sebagai kegiatan diartikan sebagai semua
upaya, pekerjaan, kegiatan dan tindakan yang dilaksanakan dalam
rangka kegiatan atau operasi intelijen, baik untuk keputusan taktis
maupun strategis. Menurut Penjelasan
Undang Undang nomor 17 tahun 2011 dalam
penyelenggaraan
fungsi dan
kegiatan
Intelijen
yang
meliputi
penyelidikan,
pengamanan,
dan penggalangan
menggunakan
metode
kerja,
seperti
pengintaian,
penjejakan,
pengawasan,
penyurupan
(surreptitious
entry),
penyadapan,
pencegahan
dan penangkalan
dini, serta
propaganda
dan
perang
urat
syaraf.
-
SIKLUS INTELIJEN
Menurut Letjen (Purn) Z.A. Maulani, dalam
intelijen terdapat sebuah perputaran atau siklus intelijen. Siklus
intelijen adalah proses mengolah data atau informasi mentah menjadi
produk intelijen yang disampaikan kepada pengambil kebijakan untuk
digunakan dalam pengambilan keputusan dan langkah-langkah pelaksanaan
kebijakan atau keputusan tersebut. Terdapat lima tahapan dalam siklus
intelijen yaitu Planning, Collection, Process, Analysis dan
Dissemination.
Planning atau perencanaan adalah manajemen
informasi, mulai dari mengidentifikasi data yang diperlukan hingga
pengiriman produk intelijen kepada pengambil keputusan atau pengguna
produk intelijen. Perencanaan intelijen merupakan awal dan akhir dari
siklus intelijen, karena berkaitan dengan penyusunan rencana yang
mencakup kebutuhan pengumpulan informasi yang spesifik dan menjadi
akhir dari siklus intelijen karena produk akhir intelijen yang
mendukung keputusan kebijakan akan menciptakan permintaan produk
intelijen yang baru. Berdasarkan United States Senate dalam Chruch
Committee pada pertengahan 1970-an, perencanaan adalah tahap awal
dari siklus intelijen dalam bentuk pemeriksaan lanjutan terhadap
rencana dalam produktivitas para agen intelijen.
Collection adalah pengumpulan data/informasi
mentah yang diperlukan untuk memproduksi analisa intelijen. Terdapat
berbagai sumber informasi termasuk informasi terbuka seperti berita
radio asing, surat kabar, majalah,buku, internet dan lain sebgainya.
Informasi terbuka merupakan salah satu sumber utama intelijen yang
harus dimekanisasikan secara disiplin menjadi sebuah rutinitas
sehari-hari yang menjadi supply tidak terbatas yang akan mendukung
analisa intelijen. Selain sumber terbuka, informasi dapat diperoleh
melalui sumber tertutup, elektronik, satelit dan sumber
terklasifikasi.
Process berkaitan dengan interpretasi atas
data/informasi, meliputi proses menerjemahkan kode, menerjemahkan
bahasa, klasifikasi data, dan penyaringan data. Dalam tahap process
dilakukan proses reduksi data menjadi berbagai macam format untuk
mengkategorikan data/informasi sebagai data/informasi yang berguna
atau tidak berguna untuk mempermudah pemahaman mengenai kegiatan
intelijen yang dilakukan.
Analysis merupakan konversi dari informasi dasar
yang telah diproses menjadi produk intelijen, termasuk didalamnya
evaluasi dan analisa secara utuh dari data yang tersedia. Seringkali
data yang ada bertentangan atau terpisah. Untuk keperluan analisa dan
produksi, terdapat beberapa kriteria dari data atau informasi yang
diperoleh. Data atau informasi tersebut digolongkan berdasarkan
tingkat kepercayaan, tingkat kebenaran dan tingkat relevansi. Data
yang tersedia kemudian disatukan menjadi satu kesatuan analisa yang
utuh, serta meletakkan informasi yang telah dievaluasi dalam
konteksnya. Output yang diperoleh adalah produk intelijen yang
mencakup penilaian terhadap sebuah peristiwa serta perkiraan akan
dampaknya terhadap keamanan nasional.
Dissemination merupakan langkah terakhir yang
secara logika merupakan masukan untuk langkah pertama. Dissemination
adalah distribusi produk intelijen kepada pengguna maupun pengambil
kebijakan yang biasanya adalah pihak yang meminta informasi kepada
intelijen.
-
CENTRAL INTELLIGENCE AGENCY
Central Intelligence Agency (CIA) merupakan Badan Intelijen
Amerika Serikat yang pada mulanya dikenal dengan sebutan Coordinator
of Information (CI). Presiden Franklin D Roosevelt mengangkat
William J Donovan sebagai ketuanya. Tahun 1942, CI secara resmi
berubah nama menjadi Office of Strategic Service (OSS)
dengan tugas pertamanya mengumpulkan dan menganalisa informasi
strategis.
Pasca Perang Dunia ke-2, OSS dibubarkan. Presiden Harry S.Truman
kemudian membentuk Central Intelligence Group (CIG).
Lembaga ini bertugas melakukan seleksi, menilai informasi serta
melaporkan hasil analisis berdasarkan informasi yang telah diolah
kepada presiden. Sepanjang CIG menjalankan fungsinya, Presiden Truman
merasa tidak puas dengan kinerja CIG, bahkan pihak
militer dan Federal Bureau of Investigation (FBI) merasa
tidak sejalan dengan CIG. Tidak berselang lama, akhirnya Presiden
Truman, menandatangani Undang-Undang Keamanan Nasional tahun
1947 yang menandai secara resmi berdirinya CIA.
Pada tahun 1949, Central Intelligence Agency Act disahkan
untuk melengkapi Undang-Undang Keamanan Nasional tahun 1947.
Undang-undang tersebut memberikan kewajiban kepada CIA untuk
mengkoordinasikan seluruh kegiatan intelijen di luar negeri dan
mengkorelasikan, mengevaluasi serta menyebarluaskan informasi
intelijen yang berpengaruh terhadap keamanan negara. Selain itu, CIA
juga melaksanakan tugas dan fungsi lainnya yang berkaitan dengan
intelijen sebagaimana diarahkan oleh Nasional Security Council (NSC).
Undang-Undang intelijen merupakan otoritas hukum yang memberikan CIA
keleluasaan untuk menerapkan prosedur fiskal dan administratif secara
rahasia guna melindungi sumber-sumber dan metoda intelijen dari
kebocoran.
CIA merupakan badan independen yang bertanggung jawab menyediakan
informasi intelijen bagi keamanan nasional Amerika Serikat. CIA
berfungsi menjalankan fungsi siklus intelijen untuk mengumpulkan,
menganalisa dan mendistribusikan informasi intelijen kepada pejabat
tinggi pemerintah AS. Tugas CIA dilaksanakan dengan memperhatikan
berbagai arahan dan pengawasan dari presiden dan NSC. Selain itu, CIA
juga melakukan pelaporan secara teratur dan berkala kepada
Direktur Intelijen Nasional. CIA memberikan briefing yang
bersifat substantif kepada Senat Komisi Hubungan Luar Negeri, Komite
Luar Negeri Parlemen dan Komisi Angkatan Bersenjata.
CIA memiliki visi kedepan yakni menjadi Satu Badan, Satu Komunitas
yang tak tertandingi dalam kemampuan intelijen, berfungsi sebagai
satu tim dan sepenuhnya terintegrasi ke dalam komunitas intelijen.
Untuk mewujudkan visi tersebut, CIA memiliki visi yakni menjadi baris
pertama pertahanan bangsa. CIA berusaha mencapai apa yang orang lain
tidak dapat menyelesaikan dan pergi ke tempat dimana orang lain tidak
bisa pergi.
-
GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965
Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G 30 adalah sebuah
kejadian yang terjadi pada tanggal 30
September 1965
di mana enam pejabat tinggi militer Indonesia
beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha
pemberontakan
yang disebut sebagai usaha kudeta
yang dituduhkan kepada anggota Partai
Komunis Indonesia.
PKI merupakan partai Stalinis
yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok
dan Uni
Sovyet. Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta,
ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol
pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan
pergerakan petani Barisan
Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota.
Termasuk pergerakan wanita (Gerwani),
organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai
lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965
ratusan ribu petani bergerak merampas tanah dari para tuan tanah
besar. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan
para pemilik tanah. Untuk mencegah berkembangnya konfrontasi
revolusioner itu, PKI mengimbau semua pendukungnya untuk mencegah
pertentangan menggunakan kekerasan terhadap para pemilik tanah dan
untuk meningkatkan kerjasama dengan unsur-unsur lain, termasuk
angkatan bersenjata.
Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan
karet dan minyak milik AS.
Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan
resmi. Pada waktu yang sama, jendral-jendral militer tingkat tinggi
juga menjadi anggota kabinet.
Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi
militer di dalam kabinet Soekarno ini, tetapi mereka terus mendorong
ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan bersenjata adalah
merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".
Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk
pembentukan rezim militer, menyatakan keperluan untuk pendirian
"angkatan kelima" di dalam angkatan bersenjata, yang
terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Kepemimpinan PKI
berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam ini
dalam batas-batas hukum kapitalis negara. Aidit menyatakan dalam
laporan ke Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" angkatan
bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerjasama untuk
menciptakan "angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tetap
berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di
bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatus
militer dan negara sedang diubah untuk memecilkan aspek anti-rakyat
dalam alat-alat Negara
Negara Federasi
Malaysia yang baru terbentuk pada tanggal 16
September 1963
adalah salah satu faktor penting dalam insiden ini. Konfrontasi
Indonesia-Malaysia merupakan salah satu penyebab
kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI, menjelaskan motivasi para
tentara yang menggabungkan diri dalam gerakan G30S, dan juga pada
akhirnya menyebabkan PKI melakukan penculikan petinggi Angkatan
Darat.
Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat (CIA)
yang baru dibuka yang bertanggalkan 13
Januari 1965
menyebutkan sebuah percakapan santai Soekarno dengan para pemimpin
sayap kanan bahwa ia masih membutuhkan dukungan PKI untuk menghadapi
Malaysia dan oleh karena itu ia tidak bisa menindak tegas mereka.
Namun ia juga menegaskan bahwa suatu waktu "giliran PKI akan
tiba. "Soekarno berkata, "Kamu bisa menjadi teman atau
musuh saya. Itu terserah kamu. ... Untukku, Malaysia itu musuh nomor
satu. Suatu saat saya akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang."
Dari pihak Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai
mencuat ketika banyak tentara yang kebanyakan dari Divisi
Diponegoro yang kesal serta kecewa kepada sikap
petinggi Angkatan Darat yang takut kepada Malaysia, berperang hanya
dengan setengah hati, dan berkhianat terhadap misi yang diberikan
Soekarno. Mereka memutuskan untuk berhubungan dengan orang-orang dari
PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat dari para jenderal ini.
Inflasi yang mencapai 650% membuat harga makanan melambung tinggi,
rakyat kelaparan dan terpaksa harus antri beras, minyak, gula, dan
barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Beberapa faktor yang berperan
kenaikan harga ini adalah keputusan Soeharto-Nasution untuk menaikkan
gaji para tentara 500% dan penganiayaan terhadap kaum pedagang
Tionghoa yang menyebabkan mereka kabur. Sebagai akibat dari inflasi
tersebut, banyak rakyat Indonesia yang sehari-hari hanya makan
bonggol
pisang, umbi-umbian,
gaplek, serta bahan makanan yang tidak layak dikonsumsi lainnya,
mereka menggunakan kain dari karung sebagai pakaian mereka.
Pada saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu
adanya Dewan
Jenderal yang mengungkapkan adanya beberapa
petinggi Angkatan Darat yang tidak puas terhadap Soekarno dan berniat
untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno disebut-sebut
memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa mereka
untuk diadili oleh Soekarno. Namun yang tidak diduga-duga, dalam
operasi penangkapan jenderal-jenderal tersebut, terjadi tindakan
beberapa oknum yang termakan emosi dan membunuh Letjen Ahmad Yani,
Panjaitan, dan Harjono.
Dokumen
Gilchrist yang diambil dari nama duta besar Inggris
untuk Indonesia Andrew
Gilchrist beredar hampir bersamaan waktunya dengan
isu Dewan Jenderal. Dokumen ini, yang oleh beberapa pihak disebut
sebagai pemalsuan oleh intelejen Ceko
di bawah pengawasan Jenderal
Agayant dari KGB
Rusia,
menyebutkan adanya "Teman Tentara Lokal Kita" yang
mengesankan bahwa perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli oleh
pihak Barat. Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberikan daftar
nama-nama anggota PKI kepada tentara untuk "ditindaklanjuti".
Dinas intelejen Amerika Serikat mendapat data-data tersebut dari
berbagai sumber, salah satunya seperti yang ditulis John Hughes,
wartawan The Nation yang menulis buku "Indonesian Upheaval",
yang dijadikan basis skenario film "The Year of Living
Dangerously", ia sering menukar data-data yang ia kumpulkan
untuk mendapatkan fasilitas teleks untuk mengirimkan berita.
Pada 30
September 1965,
enam jendral senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya
kudeta
yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa)
yang loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung.
Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto
kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut.
Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad
Yani,
Mayjen TNI R.
Suprapto
Mayjen TNI M.T.
Haryono
Mayjen TNI S.
Parman
Brigjen TNI D.I.
Panjaitan
Jenderal TNI A.H.
Nasution juga disebut sebagai salah seorang target
namun dia selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya,
putrinya Ade
Irma Suryani Nasution dan ajudan AH Nasution, Lettu
Pierre
Tandean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.
Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
Brigjen Katamso
Darmokusumo
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok
Gede, Jakarta
yang dikenal sebagai Lubang
Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3
Oktober.
Pada tanggal 1
Oktober 1965
Soekarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan
Dewan
Revolusioner oleh para "pemberontak"
dengan berpindah ke Pangkalan
Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari
perlindungan.
Pada tanggal 6
Oktober Soekarno mengimbau rakyat untuk menciptakan
"persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan
bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro
Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan
organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi
Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini
dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune". Pada tanggal
16
Oktober 1965, Skarno melantik Mayjen Soeharto
menjadi Menteri/Panglima
Angkatan Darat di Istana
Negara.
Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung
PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI,
semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan
petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp
tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini
terjadi di Jawa
Tengah (bulan Oktober), Jawa
Timur (bulan November) dan Bali
(bulan Desember). Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui
dengan persis - perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang,
sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juga orang. Namun
diduga setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana
enam bulan yang mengikuti kudeta itu.
Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari
organisasi-organisasi muslim sayap-kanan
seperti barisan Ansor NU dan Tameng Maharneis PNI melakukan
pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Ada laporan-laporan bahwa Sungai
Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat
sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".
Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan
pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan
ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya
perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana
CIA.
menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan
melakukan pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time"
memberitakan:
"Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang
sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi
yang serius di Sumatra Utara, di mana udara yang lembab membawa bau
mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada
kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh
mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius."
Di pulau Bali,
yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000
orang menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan
komando elit Partai
Nasional Indonesia, adalah pelaku
pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter
Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan
atau dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang
separuh dibakar di mana para petani tidak berani meninggalkan
kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus.
Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh
teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota
besar pemburuan-pemburuan rasialis "anti-Tionghoa" terjadi.
Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi
mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini
dipecat.
Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di
kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih
dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969.
Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan
orang sejak tahun 1980-an.
Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus
Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak
kudeta itu.
Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11
Maret 1966,
Soekarno memberi Soeharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat
Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah Soeharto
untuk mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk
mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan
wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh
Soeharto untuk melarang PKI.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
-
UPAYA PENGGULINGAN SOEKARNO OLEH AMERIKA SERIKAT MELALUI CIA
Dalam rangka menjamin kepentingan politik, ekonomi
dan keamanan di Indonesia, Amerika Serikat merasa perlu melakukan
beberapa tindakan di Indonesia, di antaranya menggulingkan
kepresidenan Soekarno, memecah Indonesia menjadi Negara bagian,
menyingkirkan para perwira yang dinilai memiliki loyalitas terhadap
PKI dan juga menghapus PKI yang semakin berkembang di Indonesia
akibat diterapkannya NASAKOM oleh Soekarno. Kegagalan yang dialami
Amerika dalam pemberontakan PRRI-Permesta mengindikasikan bahwa usaha
penggulingan Soekarno melalui pendekataan daerah merupakan kesalahan
karena sulit untuk berhasil.
Soekarno yang beraliran NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis) tidak
sejalan dengan pola Pemerintahan Amerika Serikat yang mengutamakan
demokrasi dan liberalisasi. Agen-agen CIA Amerika Serikat menyusup ke
dalam kelompok pemberontak di Indonesia untuk mengacaukan
pemerintahan Soekarno .Hingga puncaknya terjadi peristiwa G30S yang
merupakan upaya Amerika Serikat untuk menggulingkan Presiden
Soekarno.
CIA berada dibalik penggulingan Soekarno, menurut
Peter Dale Scott seorang mantan pejabat intelijen Amerika Serikat,
sejak Soekarno mengemukakan gagasan tentang perlunya sistem politik
Demokrasi Terpimpim (1956), meminta bantuan Uni Soviet untuk
pembebasan Irian Barat (1962), membentuk poros
Jakarta-Peking-Pyongyang dan melakukan konfrontasi dengan Malaysia
(1964), Amerika Serikat tidak senang dengan tindakan-tindakan
Soekarno yang ingin menjadi pemimpin baru bagi Negara-negara Asia,
Afrika dan Amerika Latin itu.
Ketidaksenangan Amerika Serikat tampak dari
dukungan dan bantuan yang diberikan kepada pemberontak PRRI
(Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera dan
Permesta (Perjuangan Semesta) di Sulawesi yang menentang pemerintah
pusat (presiden Soekarno) pada tahun 1957/1958. Sementara Soekarno
menyatakan “go to hell with your aids”
kepada Amerika Serikat pada tahun
1960-an, negara Paman Sam itu malah memberikan bantuan logistik,
persenjataan, pendidikan dan latihan kepada para perwira AD secara
rahasia. Bahkan bantuan logistik dan keuangan itu nampak jelas ketika
AD dan mahasiswa anti komunis pada tahun 1966 melakukan unjuk
kekuatan untuk memberantas PKI di satu sisi, dan menentang
kepemimpinan Presiden Soekarno di lain sisi. Hal itu diakui oleh
Marshall Green, duta besar Amerika Serikat pada waktu itu.
Sampai akhir 1950-an tidak terlihat bahwa pemerintah Amerika Serikat
dan Angkatan Darat Indonesia akan mempunyai masa depan bersama yang
gilang-gemilang. Para pejabat penting dalam pemerintahan Eisenhower
(1952-1960) berpikir tentang bagaimana memecah-belah Indonesia
menjadi negara-negara kecil. Bagi mereka, Presiden Soekarno merupakan
sebuah kutukan. Politik luar negerinya yang bebas aktif (yang tegas
dipamerkan pada Konferensi Asia Afrika 1955), hujatan berulangnya
terhadap imperialisme Barat, dan kesediaannya merangkul PKI sebagai
bagian integral dalam politik Indonesia ditafsirkan di Washington
sebagai bukti kesetiaan Soekarno kepada Moskow dan Beijing.
Eisenhower dan Dulles bersaudara – Allen sebagai kepala CIA dan
John Foster sebagai kepala Departemen Luar Negeri – memandang semua
pemimpin nasionalis Dunia Ketiga yang ingin tetap netral di
tengah-tengah perang dingin sebagai antek-antek komunis. Dengan penuh
keyakinan akan hak mereka untuk memilih-milih pemimpin di
negara-negara asing, Eisenhower dan dua bersaudara Dulles berulang
kali menggunakan operasi rahasia CIA untuk menumbangkan
pemimpin-pemimpin nasionalis: Mossadegh di Iran pada 1953, Arbenz di
Guatemala pada 1954, dan Souvanna Phouma di Laos pada 1960. Dulles
bersaudara melihat Soekarno pun sebagai tokoh lain yang
menjengkelkan, yang harus disingkirkan dari panggung dunia.
Sesudah PKI memenangi pemilihan umum daerah pada pertengahan 1957,
Dulles bersaudara berpikir waktunya telah tiba untuk bergerak melawan
Soekarno. Sikap lunak Soekarno terhadap komunisme dan dukungannya
kepada pemilu yang demokratis terlihat sebagai memberi PKI jalan
lapang menuju istana kepresidenan. Dulles bersaudara menolak nasihat
bijak Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta, John Allison, yang
mengatakan bahwa ancaman komunis tidak cukup gawat untuk membenarkan
penggulingan terhadap Soekarno.
Dalam sidang Dewan Keamanan Nasional (NSC,
National Security Council) pada Maret 1957 Allen Dulles menyatakan
bahwa “proses disintegrasi di Indonesia sedang terus berlanjut
sampai pada tahap tinggal pulau Jawa saja yang masih di bawah
kekuasaan pemerintah pusat. Angkatan bersenjata di semua pulau-pulau
di luar [Jawa] telah menyatakan kemerdekaan mereka dari pemerintah
pusat di Jakarta.”Penilaian tidak tepat semacam ini meyakinkan para
penentu kebijakan bahwa Amerika Serikat harus berbalik melawan
nasionalisme Indonesia.
Mula-mula Soekarno bersikap tanggap terhadap
tuntutan para pemberontak. Pembentukan kabinet baru pada April,
penyelenggaraan konferensi perujukan kembali segera sesudah itu,
pengiriman dana tambahan ke daerah-daerah, dan keberlanjutan prospek
pengembangan karier dalam ketentaraan nasional bagi para kolonel itu
sendiri adalah semua faktor yang meredakan kekerasan hati para
pemberontak. Tapi pemerintah Eisenhower, melalui kontak-kontak
rahasianya dengan para kolonel pembangkang, tetap berpendapat bahwa
mereka melawan bujuk rayu Soekarno. Sebuah komite ad hoc untuk
Indonesia dalam Dewan Keamanan Nasional AS dalam September 1957
menyimpulkan bahwa Amerika Serikat harus “memperkuat kebulatan
tekad, kemauan dan kepaduan pasukan antikomunisnya di pulau-pulau
luar Jawa,” sehingga mereka bisa berperanan sebagai “titik
penggalangan kekuatan jika kaum komunis menguasai Jawa.”
Dukungan material AS menumbuhkan kepercayaan diri
pada para pemberontak untuk menolak setiap penyelesaian yang
dirundingkan. CIA memberikan uang muka sebesar $50.000 kepada Kolonel
Simbolon di Sumatra Utara pada awal Oktober 1957 dan mulai mengirim
senjata pada bulan berikut. Kemenangan Jakarta di bagian timur
Indonesia memerlukan waktu lebih lama karena CIA memberi bantuan
kekuatan udara kepada para pemberontak. Beroperasi dari pangkalan
udara Manado, sebuah kota di ujung utara Sulawesi yang dekat dengan
pangkalan udara AS di Filipina, CIA melepas satu armada dengan
delapan atau sembilan pesawat terbang yang diawaki pilot-pilot
berkebangsaan Amerika, Taiwan, dan Filipina. Armada udara kecil ini
sangat merintangi tentara Indonesia dengan pemboman atas kapal-kapal
dan pelabuhan-pelabuhan udara di seluruh kawasan Indonesia timur. CIA
serta-merta menghentikan bantuan udaranya pada akhir Mei 1958 ketika
seorang pilot Amerika, Allen Pope, ditembak jatuh dan ditangkap
hidup-hidup sesudah melakukan pemboman atas kota Ambon – serangan
membabi buta yang membunuh sekitar tujuh ratus penduduk sipil.
Sesegera sesudah pesawat-pesawat udara CIA tidak lagi beroperasi,
Jakarta dengan cepat berhasil menundukkan para pemberontak di Manado.
Hasil peninjauan kembali pemerintahan Eisenhower ialah pembalikan
kebijakan di Washington. Alih-alih mencoba melucuti Indonesia,
Amerika Serikat akan mendukung para perwira Angkatan Darat yang
antikomunis di Jakarta dan bersandar kepada mereka untuk menegah
gerak PKI. Kebijakan baru ini memperoleh perumusannya secara
sistematik di dalam sebuah dokumen Dewan Keamanan Nasional (NSC),
“Laporan Khusus Tentang Indonesia” yang ditulis dalam Januari
1959.
NSC melihat Angkatan Darat sebagai “perintang
utama terhadap perkembangan kekuatan komunis lebih lanjut.”
Kekuatan sipil nonkomunis di dalam partai-partai politik “dengan
dukungan Angkatan Darat bisa berbalik melawan partai komunis di
gelanggang politik.” Dokumen NSC menganjurkan Eisenhower agar
memperkuat hubungan AS dengan tentara Indonesia agar institusi ini
mampu “memerangi kiprah kaum komunis.” Untuk memastikan bahwa
pimpinan Angkatan Darat mau dan mampu memenuhi peranannya sebagai
ujung tombak kekuatan antikomunis, Gedung Putih menyumbang
perlengkapan dalam jumlah besar-besaran.
Dalam Agustus 1958 Amerika Serikat memulai program
bantuan militer dengan memasok perlengkapan untuk militer, khususnya
Angkatan Darat, dan melatih para perwira di Amerika Serikat. Dari
1958 sampai 1965 Amerika Serikat setiap tahun mengeluarkan sekitar
$10 juta sampai $20 juta untuk bantuan militer Indonesia. Program
pendidikan perwira Angkatan Darat Indonesia di sekolah-sekolah
seperti di Fort Bragg dan Fort Leavenworth merupakan program yang
menyeluruh. Dari 1950 sampai 1965 sekitar 2.800 perwira Angkatan
Darat Indonesia dikirim ke Amerika Serikat untuk sekolah – sebagian
besar sesudah 1958. Jumlah itu kira-kira merupakan seperlima sampai
seperempat dari seluruh jumlah perwira Angkatan Darat. Melalui
pendidikan ini Amerika Serikat bias membangun kontak-kontak yang luas
dengan Angkatan Darat Indonesia. Tentu saja tidak semua perwira yang
disekolahkan di Amerika Serikat menjadi pengikut-pengikut setia
perjuangan antikomunis. Tapi program yang berskala sedemikan besar
tentu membawa pengaruh terhadap wawasan politik sementara perwira.
Pada awal 1960-an para pejabat AS memang merasa telah memperoleh
sukses dengan program itu. Pada 1964 Dean Rusk menulis sebuah memo
kepada Presiden Johnson untuk menjelaskan bahwa bantuan AS kepada
tentara Indonesia dari sudut kemiliteran kecil saja artinya tapi
“memungkinkan kita untuk menjalin hubungan tertentu dengan
elemen-elemen kunci di Indonesia yang menaruh perhatian dan mampu
melawan perebutan kekuasaan oleh kaum komunis” (kursif penegas
sesuai aslinya). Selain melatih perwira, pemerintah AS juga
menggalakkan “civic action.” Walaupun pada mulanya Amerika
Serikat membentuk civic action untuk militer dalam perjuangan melawan
perang gerilya, Amerika Serikat berniat melaksanakannya di Indonesia
sebagai sarana penangkal pengaruh politik PKI. Pemerintah AS
merumuskan civic action sebagai penggunaan militer “pada
proyek-proyek yang berguna bagi segala tingkatan penduduk setempat
dalam bidang-bidang seperti pendidikan, pelatihan, pekerjaan umum,
pertanian, transportasi, komunikasi, kesehatan, sanitasi dan
lain-lain yang memberikan sumbangan bagi pembangunan ekonomi dan
sosial, yang juga akan berguna bagi bertambah baiknya posisi
angkatan bersenjata di tengah masyarakat.” Inilah sebuah program,
yang dalam istilah klise, untuk merebut hati dan pikiran. Dengan
civic action tentara Indonesia harus melibatkan diri dalam
kegiatan-kegiatan yang biasanya dijalankan kaum sipil. Prajurit
menjadi pejabat di dalam pemerintahan sipil, seperti misalnya lurah
desa, dan membangun proyek-proyek prasarana, seperti jembatan dan
jalan. Pada 1962 NSC mendorong gagasan untuk memperkuat peranan
tentara Indonesia dalam “kegiatan-kegiatan pembangunan ekonomi dan
sosial.”
Dipimpin oleh konsepsi Nasution tentang “perang
teritorial,” pada praktiknya sejak awal 1950-an tentara Indonesia
telah menempatkan dirinya di tengah kehidupan sipil. Apa yang
diusulkan oleh pemerintah Kennedy pada awal 1960-an adalah dukungan
AS untuk program Angkatan Darat Indonesia yang sudah berjalan.
Program civic action Angkatan Darat Indonesia yang baru diresmikan
itu sebagian besar di bawah pimpinan Kolonel George Benson, yang
jabatan resminya dari Agustus 1962 sampai Juli 1965 adalah pembantu
khusus duta besar AS untuk urusan civic action. Satu manfaat civic
action ialah program ini memberikan selubung bagi operasi rahasia
terhadap PKI. Komite NSC untuk pengikisan pemberontakan
(counterinsurgency) pada Desember 1961 menyetujui pengeluaran biaya
untuk Indonesia “guna menyokong kegiatan-kegiatancivic action dan
antikomunis,” yang akan memuat “pelatihan rahasia bagi personil
militer dan sipil terpilih, yang akan ditempatkan pada kedudukan
kedudukan kunci di dalam [di sini sensor mencatat penghapusan ‘kurang
dari 1 baris teks asli’] program civic action.” Banyaknya bagian
tulisan yang dihilangkan dari dokumen yang telah dideklasifikasi ini
memberi kesan bahwa program civic action meliputi operasi-operasi
terselubung yang peka di Indonesia.
Duta Besar Jones berbicara pada sebuah rapat tertutup para pejabat
Departemen Luar Negeri di Filipina pada Maret 1965, “Dari sudut
pandangan kita, tentu saja, percobaan kup yang gagal oleh PKI kiranya
merupakan perkembangan yang paling efektif untuk memulai pembalikan
kecenderungan politik di Indonesia.” Jones berharap PKI akan
mengajukan kepada Angkatan Darat “tantangan tegas yang bisa
merangsang reaksi yang efektif.” Baik pemerintah Amerika Serikat
maupun komando tertinggi Angkatan Darat Indonesia melewatkan 1965
untuk menunggu terjadinya semacam aksi dramatis dari PKI yang akan
memberikan pembenaran bagi penindasan terhadapnya. Sementara pihak
bahkan memberi saran yang membantu, yaitu agar Amerika Serikat
bertindak selaku katalisator untuk bentrokan yang sangat dinantikan
ini. Pada Maret seorang analis di Departemen Luar Negeri di
Washington mempertanyakan, “Apakah ada sesuatu yang akan membikin
bentrokan [semacam itu] tidak bisa dielakkan?” Ellsworth Bunker,
dalam laporannya bulan April, menganjurkan, agar “AS harus
diarahkan untuk menciptakan kondisi yang akan memberi elemen-elemen
kekuatan yang potensial kondisi-kondisi yang paling menguntungkan
untuk konfrontasi.” Amerika Serikat “menciptakan kondisi”
melalui operasi-operasi rahasia.
Sebuah komisi NSC menyetujui proposal pada Maret 1965 untuk aksi-aksi
rahasia, misalnya “menyokong kelompok-kelompok antikomunis yang
ada,” “operasi-operasi black letter [surat kaleng]” dan
“operasi-operasi media.” Rencananya adalah “menggambarkan PKI
sebagai penentang Soekarno dan nasionalisme yang sah yang semakin
ambisius dan berbahaya,” dan dengan demikian menyatukan semua
elemen nonkomunis untuk melawan PKI. Proposal ini menyebutkan bahwa
“tokoh-tokoh nasionalis terkemuka” di Indonesia telah diberi
“sejumlah dana” melalui “saluran-saluran yang aman,” sehingga
mereka bisa “mengambil langkah perintang terhadap PKI.”
Pemerintah AS menjadi sangat mengharapkan terjadinya bentrokan antara
Angkatan Darat dan PKI pada 1965 karena hubungan AS dengan pemerintah
Soekarno dengan cepat memburuk.
-
CIA DALAM GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965
Dilatih, dipersenjatai, didanai, dan didorong oleh
Amerika Serikat untuk menyerang PKI, pimpinan tertinggi Angkatan
Darat pada Januari 1965 memutuskan untuk memulai perencanaan
kemungkinan melakukan serangan. Serangkaian peristiwa memancing Yani
dan lingkaran terdekatnya untuk percaya bahwa kekuasaan Presiden
sudah mulai kurang mantap dan, akibatnya, ancaman PKI menjadi makin
meningkat. Kesehatan Soekarno memburuk, seperti ditunjukkan oleh
gangguan pada ginjalnya yang mengharuskannya dioperasi pada Desember
1964.Ia juga menjadi semakin terisolasi di gelanggang internasional.
Dalam menanggapi persetujuan Dewan Keamanan PBB yang memberikan kursi
keanggotaan untuk Malaysia, pada 7 Januari 1965 Soekarno mengumumkan
bahwa Indonesia menyatakan keluar dari PBB. Kebijakannya tentang
konfrontasi terhadap Malaysia membuat PKI berani menuntut agar
ribuan, jika bukan jutaan, rakyat sipil dipersenjatai dan
diorganisasi sebagai angkatan kelima, yaitu angkatan baru di dalam
ketentaraan. Dengan kemungkinan dipersenjatainya PKI,
jenderal-jenderal Angkatan Darat menyadari bahwa konfrontasi bergulir
cepat di luar kendali mereka. Menurut analisis CIA tentang G-30-S
yang telah diterbitkan, Yani dan empat jenderal lain mulai bertemu
pada Januari 1965 “untuk merundingkan situasi politik yang memburuk
dan apa yang harus dilakukan Angkatan Darat menghadapi hal itu.
Kelompok ini, yang dikenal sebagai ‘brain trust’[kelompok
pemikir], melibatkan keempat jenderal tersebut, yaitu: Jenderal
Suprapto, Jenderal Harjono, Jenderal Parman, dan Jenderal Sukendro.”
Jenderal-jenderal ini bertemu “secara teratur, [dan] rahasia.”
Tiga jenderal tersebut pertama adalah anggota staf
umum Yani (SUAD). Jenderal terakhir, Sukendro, pernah memimpin
penindasan terhadap PKI pada Juli-September 1960, dan pada saat itu,
bersama jenderal-jenderal lain dari Angkatan Darat yang antikomunis
garis keras, mendesak Nasution agar melakukan kudeta terhadap
Soekarno. Soekarno mengajak Angkatan Darat mencapai sebuah kompromi
yang berujung pada berakhirnya penindasan terhadap PKI dan pengiriman
Sukendro ke pengasingan selama tiga tahun.
Diplomat berpengalaman Ellsworth Bunker, yang
dikirim ke Jakarta pada April 1965 untuk melakukan penilaian
menyeluruh terhadap hubungan AS - Indonesia, membenarkan tinjauan
tentang Soekarno yang tidak bisa diserang itu. “Tidak perlu
disangsikan kesetiaan rakyat Indonesia kepada Soekarno,” tulisnya
dalam laporannya kepada Presiden Johnson. Bangsa Indonesia “dalam
jumlah yang besar mengharapkan kepemimpinan darinya, mempercayai
kepemimpinannya, dan bersedia mengikutinya. Tak ada kekuatan di tanah
air yang bisa menyerangnya, tidak pula ada bukti bahwa suatu kelompok
penting ingin berbuat demikian.”
Para pejabat AS berulang kali memberi tahu
jenderal-jenderal pimpinan Angkatan Darat bahwa Amerika Serikat akan
mendukung mereka jika mereka bergerak melawan PKI. Howard Jones sudah
meyakinkan Nasution sebelumnya pada Maret 1964 dalam pertemuan
pribadi mereka selama sembilan puluh menit bahwa pasti akan datang
“dukungan AS pada saat krisis.” Sebaliknya, Nasution meyakinkan
Jones bahwa Angkatan Darat “tetap berpandangan antikomunis” dan
sedang mengindoktrinasi para perwira “untuk memastikan kesiagaan
tentara menghadapi tantangan apabila saatnya tiba.”
Pada kesempatan lain Nasution meyakinkan Jones
bahwa serangan Angkatan Darat terhadap PKI pada 1948, serangan yang
sebagian besar dilakukan oleh pasukan Jawa Barat di bawah Nasution
sendiri, “Ringan saja jika dibandingkan dengan tindakan yang akan
dilakukan Angkatan Darat sekarang ini.”
Dalam hari-hari pertama Oktober Kedutaan Besar AS
dan para pembuat kebijakan di Washington khawatir bahwa Angkatan
Darat Indonesia tidak akan memanfaatkan sepenuhnya kesempatan untuk
menyerang PKI. Bahkan sebelum Amerika Serikat mempunyai bukti kuat
tentang tanggung jawab PKI pun, ia telah menyalahkan PKI sambil
mendorong Angkatan Darat agar menghancurkan partai itu. Laporan
Kedutaan Besar bertanggal 4 Oktober menyatakan, Angkatan Darat belum
“sampai pada keputusan apakah akan meneruskan usahanya untuk
mencapai kemenangan penuh atas PKI.”
Sementara para pejabat tinggi AS percaya bahwa
Nasution, sekutu lama mereka, akan mendorong terjadinya penyerangan
besar-besaran, mereka khawatir elemen-elemen lain di dalam Angkatan
Darat akan menghalanginya. Pos CIA di Jakarta menyatakan sehari
kemudian bahwa “Angkatan Darat harus bergerak cepat jika ia hendak
memanfaatkan kesempatannya untuk bergerak melawan PKI.” Pos CIA
(Pimpinannya, B. Hugh Tovar) kembali khawatir pada 7 Oktober bahwa
ada bahaya Angkatan Darat tidak akan melancarkan serangan terhadap
PKI, tapi cukup puas dengan aksi terbatas “terhadap mereka yang
langsung terlibat dalam pembunuhan para jenderal.” Tepat sehari
berikutnya semua kekhawatiran CIA itu hilang ketika ternyata para
jenderal Angkatan Darat sudah berkumpul pada 5 Oktober dan sepakat
untuk “melaksanakan rencana pengganyangan PKI.”
Gerakan 30 September akan ditempatkan pada tujuan
yang tepat sebagai pembenaran untuk penindasan terhadap PKI
sebagaimana yang telah direncanakan – penindasan yang ternyata
persis seperti yang telah dijanjikan Nasution: penindasan terhadap
PKI pada 1948 tampak lunak belaka Amerika
Serikat menyokong kata-katanya yang mengobarkan semangat itu dengan
bantuan material. Angkatan Darat memerlukan peralatan komunikasi
untuk menghubungkan berbagai markas di seluruh tanah air agar mereka
bisa mengoordinasi dengan lebih baik gerak melawan PKI.
Suatu ketika pada akhir 1965 Amerika Serikat
menerbangkan perangkat komunikasi radio lapangan (mobile radio) yang
sangat canggih dari Pangkalan Udara Clark di Filipina dan semuanya
dikirim ke markas besar Kostrad di Jakarta. Sebuah antena dibawa
masuk ke dan dipasang di depan markas besar Kostrad. Wartawan
penyelidik Kathy Kadane dalam wawancaranya dengan para mantan pejabat
tinggi AS di akhir 1980-an menemukan bahwa Amerika Serikat telah
memantau komunikasi Angkatan Darat melalui radio-radio tersebut. “CIA
memastikan bahwa frekuensi-frekuensi yang akan digunakan Angkatan
Darat sudah diketahui sebelumnya oleh National Security Agency [NSA,
Badan Keamanan Nasional]. NSA menyadap siaran-siaran radio itu di
suatu tempat di Asia Tenggara, dan sesudah itu para analis
menerjemahkannya. Hasil sadapan itu kemudian dikirim ke Washington.”
Dengan demikian Amerika Serikat memiliki detil bagian demi bagian
laporan tentang penyerangan Angkatan Darat terhadap PKI, misalnya,
mendengar “komando-komando dari satuan-satuan intelijen Soeharto
untuk membunuh tokoh-tokoh tertentu di tempat-tempat tertentu.”
Kedutaan Besar AS juga mentransfer sejumlah besar
uang untuk front sipil ciptaan Angkatan Darat yang disebut Kesatuan
Aksi Pengganyangan Gerakan 30 September (KAP-Gestapu). Aksi-aksi
organisasi ini, seperti dicatat Dubes Green, “Sepenuhnya sejalan
dengan dan dikoordinasi oleh Angkatan Darat.” Untuk membantu
KAP-Gestapu mengadakan demonstrasi-demonstrasi dan melaksanakan
“tindakan-tindakan represif yang ditujukan terhadap PKI saat ini,”
dalam awal Desember 1965 Green memerintahkan pemberian dana sebesar
50 juta rupiah kepada wakil KAP-Gestapu, Adam Malik.
Pemerintah Amerika Serikat dan para ekonom
Indonesia berpendidikan Amerika Serikat memainkan peranan penting.
Wakil-wakil Angkatan Darat mulai mendekati Kedutaan Besar AS pada
November 1965, meminta pengiriman beras secara rahasia. Karena
Amerika Serikat tidak yakin bahwa pengiriman barang-barang perbekalan
dalam jumlah besar bisa dijaga kerahasiaannya dan tetap ada di tangan
Angkatan Darat saja, maka Kedutaan Besar AS menolak permintaan itu.
Amerika Serikat ingin menunggu sampai Angkatan Darat lebih menguasai
kendali atas pemerintahan. Segera sesudah Soeharto mendemisionerkan
kabinet Soekarno pada pertengahan Maret 1966, dengan memenjarakan
lima belas menteri serta mengangkat pengganti mereka – sementara
itu tetap membiarkan Soekarno sebagai presiden – Amerika Serikat
membuka keran bantuan ekonominya: konsesi penjualan 50.000 ton beras
pada April, dan 75.000 ton kapas, serta $60 juta kredit pertukaran
mata uang asing secara cepat dari Jerman, Jepang, Inggris, dan
Amerika Serikat pada Juni.
Soeharto mengangkat para ekonom berpendidikan
Amerika Serikat untuk menduduki kementerian-kementerian yang
berkaitan dengan masalah perekonomian. Mereka menebarkan sambutan
hangat untuk investasi asing dan mengarahkan ekonomi negeri di
sekitar produksi ekspor untuk pasar dunia Barat.
-
BUKTI DOKUMEN KETERLIBATAN AMERIKA SERIKAT DALAM GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965
Document DDRS
DDRS adalah singkatan dari Declassified Docum
Reference System dari AS, dokumen rahasia resmi. Dalam kaitan dengan
tragedi G30S 1965, terdapat enam dokumen yang merekam keterlibatan
aktif tentara, khususnya beberapa Jendral Angkatan Darat RI.
Dokumen-dokumen ini tersimpan dalam Lyndon B Johnson Library.
DOCUMENT 1
INCOMING TELEGRAM Department of State DOCUMENT 1
Declassified Docum
Reference System
(Her after DDRS) 1975:1
Control: 4223
Roc'd: MARCH 6, 1964
FROM: DJAKARTA 8:36 A.M.
ACTION: SECSTATE 1854 IMMEDIATE
INFO: KUALA LUMPUR 676 IMMEDIATE
DATE: MARCH 6, 6 P.M.
LIMDIS
DEPTEL 946
DURING HOUR AND TEN MINUTE CONVERSATION WITH GEN
NASUTION THIS MORNING, I MADE MAJOR POINTS IN REFTEL. I SAID I CAME
IN SPIRIT OF FRIEND OF INDONESIA WHO SAW STORM CLOUDS ON HORIZON AND
WHO BELIEVED IN OLD ADAGE, AN OUNCE OF PRVENTION IS WORTH POUND OF
CURE. NASUTION LISTENED SOBERLY FOR HALF AN HOUR AS I PAINTED PICTURE
OF CRITICAL ECONOMIC SITUATION, COLLISION COURSE ON WHICH GO I,
SERIOUSNESS OF SITUATION THAT MIGHT DEVELOP IF BANGKOK TALKS PAILED
AND OBVIOUS FACT THAT SITUATION APPEARED TO BE PLAYING INTO HANDS OF
PKI THREATENING HIS OWN STATED OBJECTIVES FOR INDONESIA AND LEADING
TO POSSIBLE SERIOUS BREACH WITH FREE WORLD AND SPECIFICALLY US.
INTENT DOWN THE LINE REMINDING NASUTION AMENDMENTS OF AID LEGISLATION
MIGHT SOON FORCE US TO CANCEL ALL AID TO INDONESIA AS WELL AS ANZUS
TREATY OBLIGATIONS WHICH WOULD APPLY IF AUSTRALIAN AND NEW ZEALAND
FORCES BECAME INVOLVED.
NASUTION SAID HE DID NOT DISAGREE WITH MY
ANALYSIS OF THE SITUATION WHICH
INTERNALLY AND EXTERNALLY HE REGARDED AS MOST SERIOUS. HE REMINDED ME
THAT MONTHS AGO HE HAD STATED HIS PESSIMISTIC OUTLOOK OVER THE
MALAYSIA PROBLEM AND HIS CONVICTION THAT THE MANILA-TOKYO TALKS COULD
NOT RPT NOT ACTUALLY SOLVE PROBLEM. HE ADMITTED FRANKLY CONFRONTATION
WAS HURTING
COMMENT: MY IMPRESSION WAS THAT NASUTION WAS
IMPRESSED AND SOBERED THOUGH NOT SURPRISED BY SERIOUS VIEW WE WERE
TAKING OF CURRENT SITUATION. ALTHOUGH HE CAREFULLY AVOIDED COMMENT ON
EFFECT DEVELOPMENTS MIGHT HAVE ON US-INDO RELATIONS, HE OBVIOUSLY
FULLY GRASPED IMPLICATIONS AND I AM CONFIDENT THIS PART OF
CONVERSATION WILL BE PASSED ON.
NASUTION DEMONSTRATED COMPLETE FAMILIARITY WITH
SERIOUSNESS OF ECONOMIC AND FOOD SITUATION (VOLUNTEERED TEN PER CENT
OF JAPANESE GOING HUNGRY) AND MADE NO ATTEMPT TO GLOSS OVER ITS
IMPLICATION.
I EMERGED WITH FOLLOWING CONCLUSIONS: 1. SHORT OF
POLITICAL SETTLEMENT, INDO MILITARY ARE DETERMINED TO CONTINUE
CONFRONTATION BUTWILL HANDLE WITH GLOVES TO PREVENT ESCALATION INTO
LARGE SCALE CONFLICT AND WILL PLACE INCREASING EMPHASIS ON POLITICAL
INDOCTRINATION OF "FREEDOM FIGHTERS" AS AGAINST JUNGLE
WARFARE.
2. NASUTION AT LEAST WAS ALERT TO PKI DANGERS
INTERNALLY AND PLACING GREAT EMPHASIS ON INDOCTRINATION OF OFFICERS
AND MEN TO ENSURE MILITARY WILL BE READY TO MEET CHALLENGE WHEN IT
CAME. INDO ARMY STILL ANTI-COMMUNIST IN OUTLOOK, HE INSISTED.
3. INDO MILITARY APPRENTLY HAD NO PLANS TO DEAL
WITH ECONOMIC PROBLEMS OF NATION BUT ONLY THREAT TO NATION'S
INDEPENDENCE WHICH SUCH PROBLEMS MIGHT BRING IN THEIR WAKE.
HE AVOIDED LIKE THE PLAGUE ANY DISCUSSION OF
POSSIBLE MILITARY TAKEOVER, EVEN THOUGH THIS HOVERED IN AIR
THOROUGHOUT TALK, AND AT NO TIME DID HE PICK UP OBVIOUS HINTS OF US
SUPPORT IN TIME OF CRISIS.
I INTEND CONTINUE THIS TYPE OF CONVERSATION WITH
OTHER MILITARY LEADERS, FIRST WITH GEN YANI.
AT OPENING OF CONVERSATION I PRESENTED AUTOGRAPHED
PHOTOGRAPH OF NASUTION ON MEETING PRES JOHNSON FOR WHICH NASUTION
EXPRESSED DEEP APPRECIATION. GP-3.
JONES
MV
NOTE: PASSED WHITE HOUSE 3/6/64, 9:20 AM.
ADVANCE COPY TO S/S-0, 3/6/64, 8:41 AM.
REPRODUCTION FROM THIS COPY IS
PROBIBITED UNLESS "UNCLASSIFIED"
Lyndon Baines Johnson Library
Dokumen pertama, nomor kontrol 4223. Direkam 6
Maret 1964. Dari Jakarta pukul 8:36 AM. Isi pokoknya, Jones
berbincang sekitar satu jam sepuluh menit dengan Nasution tentang
situasi krusial di Indonesia. Nasution bicara mengenai ancaman PKI,
tentara siap menghadapi PKI, dan menandaskan tentara Indonesia masih
tetap anti komunis.
DOCUMENT 2
INCOMING TELEGRAM Department of State DOCUMENT 2
Lyndon B. Johnson
Library. National
Security File, In
donesia Count file,
file, vol.3, box 246
Control: 16687
Recd: JAN 21, 1965, 9:48 PM
FROM: DJAKARTA
ACTION: SECSTATE 1435 PRIORITY
INFO: D.CD UNNUMBERED
CINPAC 342
DATE: JAN 22, 8 AM.
------TOLD ME TODAY IN STRICT CONFIDENCE ARMY IS
DEVELOPING SPECIFIC PLANS FOR TAKEOVER OF GOVERNEMENT MOMENT SUKARNO
STEPS OFF STAGE. Had just COME FROM MEETING WITH GENERAL PARMAN WHO
HAD DISCUSSED PLANS WITH HIM.-------said that ALTHOUGH PLANNING WAS
BEING DONE ON CONTIGENCY BASES WITH AN EYE TO POST-SUKARNO ERA STRONG
SENTIMENT EXISTED AMONG IMPORTANT SEGMENT TOP MILITARY COMMAND FOR
TAKEOVER PRIOR DEMISE SUKARNO. WHETHER THIS HAPPENED WOULD DEPEND
UPON EVENTS OF NEXT FEW WEEKS CONFLICTING PRESSURES WERE BUILDING UP
TO SUCH A PITCH THAT IN HIS OWN OPINION ARMY MIGHT BE FORCED TO TAKE
ACTION WITHIN NEXT 30 TO 60 DAYS TO OFFSET PKI MOVES. COMMUNISTS WERE
BUILDING UP PARAMILITARY FORCES AND BEGINNING TO ARM THESE FORCES, HE
SAID. ARMY INTELLIGENCE WAS AWARE OF THESE LOCATIONS, HOWEVER, AND
PLANS CONTEMPLATED IMMEDIATE ISOLATION OF THESE CENTERS WHEN MOMENT
FOR ACTION ARRIVED.
THERE WAS NO REPEAT NO SENTIMENT AMONG ANY OF
MILITARY LEADERSHIP TO MOVE AGAINST SUKARNO, HOWEVER
---------emphasized--------IF MILITARY WERE FORCED TO MOVE IN NEAR
FUTURE, WHILE THEY MIGHT PRESENT SUKARNO WITH FAIT ACCOMPLI, COUP
WOULD BE HANDLED IN SUCH A WAY AS TO PRESERVE SUKARNO'S LEADERSHIP
INTACT EVEN THOSE WHO WERE CRITICIZING SUKARNO'S LEADERSHIP, SAID,
WERE CONVINCED THAT THERE WAS NO POSSIBILITY OF ANY COUP SUCCEEDING
AGAINST SUKARNO. HE WAS STILL BELOVED OF THE MASSES.
REPRODUCTION FROM THIS COPY IS
PROHIBITED UNLESS "UNCLASSIFIED"
Copy
Dokumen kedua, nomor kontrol 16687, Indonesia
Count file, file vol: 3, box 246. Direkam dari Jakarta pada 21
Januari 1965. Isi pokoknya yang terpenting: (titik-titik) mengatakan
padaku hari ini dengan strict confidence bahwa tentara sedang
memperkembangkan rancangan-rancangan khusus untuk mengambil alih
kekuasaan begitu Soekarno tersingkir.(titik-titik) baru saja
berunding dengan Jendral Parman mengenai rencana tersebut.
DOCUMENT 3
DOCUMENT 3
DDRS 1981:274C
CENTRAL INTELLIGENCE AGENCY
26 January 1965
SUBJECT:Principal problems and Prospects in
Indonesia
SUMMARY
We are now faced not only with known and growing
danger from Sukarno, but with the uncertainties of possible
Indonesia without Sukarno.If this
ailing dictator abould indeed die in the near future,his bequart to
Indonesia would be international outlawry, economic near-chaos, and
to Communist domination. 'Yet if Sukarno lives on for acces time to
the chance of the Communist Party (PKI) to assume power will probably
continue to improve. We do not believe that a Communist Indonesia is
imminent, or that Sukarno will initiate war. In our view however,
there is sufficient chaos of such developments over the next year or
two warrant especial intelligence and planning attention.
The beginnings of a scramble for succession to
Sukarno are already evident. Should
Sukarno leave the -------in the near future, we believe that the
initial struggle to replace him would be won by Army and
non-Communist. ---------;though
Communists would continue to play an Important role. Such a
governement would probably continue to be anti-US -----------, and a
threat to peace. Furthermore, unless the non-Communist leaders
displayed more back -----------,effectiveness, and --------than they
have to date the charces ofeventual PKI -----------of Indonesia would
quickly mount.
Copy
Lyndon B. Johnson Library
Dokumen ketiga, dokumen CIA. Kodenya: document 3,
DDRS 1981:274C, 26 Januari 1965. Dokumen ini penuh dengan
titik-titik. Di antaranya tertulis: Awal perjuangan memperebutkan
menggantikan Soekarno sudah kian jelas. Begitu Soekarno meninggalkan
(titik-titik) pada masa dekat, kami yakin perjuangan awal untuk
menggantikannya akan dimenangkan oleh tentara dan para non-komunis.
DOCUMENT 4
DOCUMENT 4
DDRS Retrospective
Collection (herafter R)
597C
THE UNDER SECRETARY OF STATE
WASHINGTON
SECRET
March 18, 1965
MEMORANDUM FOR THE PRESIDENT
Subject: Proposed Mission for Ellsworth
Bunker to Indonesia
Our relations with Indonesia are on the verge of
falling apart. Sukarno is turning more and more toward the Communist
PKI. The Army, which has been the traditional countervailing force,
has its own problems of internal cohesion.
Within the past few days the situation has grown
increasingly more ominous. Not only has the management of the
American rubber plants been taken over, but there are dangers of an
imminent seizure of the American oil companies.
Under these circumstances, Secretary Rusk and I
feel it essential to get a clear, objective reading of the situation.
Ambassador Jones has been in Djakarta for seven
years. He is tired and worried. He has done everything possible to
advance American interests through his close personal relations with
Sukarno, but that line seems pretty well played out.
Before we recommend to you some of the hard
decisions that may be required over the next few weeks we think it
would be valuable to have Ellsworth Bunker make a fresh and objective
reading of the situation. After he had reported his conclusions we
would be in a better position
to advise whether
a. You should send Bunker to Djakarta as
Ambassador;
b. You should send someone less prestigious; or
c. The post should be left vacant as an expression
of our dissatisfaction pending an improvement in relations.
We recommend, therefore, that Ambassador Bunker be
asked to pay a brief visit to Djakarta. He is prepared to leave next
Wednesday. His mission would have the following objectives:
1. He could carry a letter from you to Sukarno.
Because of Sukarno's respect for you this might be the means of
temporarily stabilizing the situation.
2. He could make use of his own prestige with the
Indonesians (you will recall he was the man who nogotiated the West
New Guinea settlement) to try to get a commitment from Sukarno to
take a more moderate course.
3. He would be able to recommend the decisions we
may be forced to make regarding the further evacuation of personnel;
the handling of the problem of the oil companies, etc.
If you think well of this idea, we will prepare a
draft letter from you to Sukarno which Ambassador Bunker could
deliver. Meanwhile, the mere fact that Sukarno knew that Ambassador
Bunker was proposing to visit Djakarta on your behalf could have a
stabilizing effect.
George W. Ball
Copy
Lyndon B. Johnson Library
Dokumen keempat, kode: DDRS Retrospective
Collection, 597C. Ditulis oleh George W. Ball dari The Under
Secretary of State, Washington kepada presiden AS. Sifat: rahasia.
Tanggal: 18 Maret 1965. Isinya mengenai kecemasan AS akan kemungkinan
keretakan hubungan AS-RI sebab Soekarno makin dekat dengan PKI dan
Angkatan Darat yang secara tradisional jadi lawan PKI, terpuruk dalam
problem internal sendiri. Dalam sepuluh hari terakhir situasi makin
gawat. Manajemen perkebunan karet AS terancam diambilalih dan juga
ancaman bagi perusahaan-perusahaan minyak AS. Dubes Jones sudah
kewalahan. Maka pihak Sekretaris Negara AS mengajukan tiga usulan:
(1) mengirim Ellsworth Bunker ke Indonesia sebagai
dubes,
(2) atau mengirim seseorang yang berpengaruh,
(3) atau membiarkan pos dubes kosong sebagai tanda
kekecewaan AS pada RI.
DOCUMENT 5
DOCUMENT 5
DDRS R: 26 F
CENTRAL INTELLIGENCE AGENCY
Intelligence Information Cable
COUNTRY INDONESIA
DATE OF 14 MAY 1965
__________________________SUBJECT__________________________
/ \
/ BELIEF OF SENIOR INDONESIAN DIPLOMAT THAT
INDONESIA WILL \
| SEVER DIPLOMATIC RELATIONS WITH UNITED STATES BY
AUGUST |
| 1965 |
\ /
\__________________________________________________________/
1. THE INDONESIAN GOVERNMENT WILL PROBABLY SEVER
DIPLOMATIC RELATIONS WITH THE UNITED STATES WITHIN THREE MONTHS,
DESPITE THE ----------ALLEVIATION OF STRAIN BETWEEN THE TWO COUNTRIES
RESULTING FROM THE MISSION OF AMBASSADOR ELLSWORTH BUNKER. THE
RUPTURE WILL BE PRECEDED BY FURTHER DETERIORATION IN OVERALL
RELATIONS. THE INDONESIAN COMMUNIST PARTY, WHICH IS RAPIDLY
INCREASING IN STRENGTH, WILL BRING CONTINUAL PRESSURE TO BEAR ON
INDONESIAN PRESIDENT SUKARNO TO BREAK RELATIONS, AND IN THE ABSENCE
OF US SUPPORT FOR HIS MALAYSIAN POLICY SUKARNO WILL PROBABLY YIELD TO
THIS PRESSURE.
Dokumen kelima, dokumen CIA. Kode DDRS R: 26F,
tanggal 14 Mei 1965. Isi pokok: mempercayai seorang diplomat senior
Indonesia bahwa Indonesia akan memutuskan hubungan diplomatik dengan
AS dalam tiga bulan mendatang. Pemutusan hubungan diplomatic itu akan
d iikuti dengan pemutusan di segala sektor. PKI akan makin menekan
Soekarno demi tercapainya pemutusan hubungan tersebut.
DOCUMENT 6
INCOMING TELEGRAM Department
of State DOCUMENT 6
DDRS R: 608E
SECRET
PP RUEHCR
DE RUMJBT 373A 2611735
ZNY SSSSS
P 081415Z
PM AMEMBASSY DJAKARTA
TO RUEKER/SECSTATE WASHDC PRIORITY 923
INFO RUERDA/DOC UNN
RUMPAG/AMEMBASSY CANBERRA 88
RUMTBK/AMEMBASSY BANGKOK 55
RUMJDH/AMCONSUL HONG KONG 92
RUMJKL/AMEMBASSY KUALA LUMPUR 152
RUFHDN/AMEMBASSY LONDON 97
RUMJMA/AMEMBASSY MANILA 265
HUALOT/AMEMBASSY TOKYO 99
STATE GRNC
BT
SECRET OCT 8
CINCPAC FOR POLAD
1. ONE WEEK HAS PASSED SINCE MASSACRE TOP ARMY
LEADERSHIP IN OCT 1 PRE-DAWN COUP. IT NOW INCREASINGLY CLEAR THAT PKI
AND AIR FORCE LEADERSHIP CLEARLY IMPLICATED AND THAT SUKARNO HIMSELF
PROBABLY AT LEAST AWARE OF ACTIONS PLANNED BY 30 SEPT MOVEMENT.
SITUATION STILL FLUID, BUT FOLLOWING SEEK TO US MOST ENCOURAGING
DEVELOPMENTS TO DATE:
A. COMMUNISTS ARE NOW ON THE RUN FOR THE FIRST
TIME IN MANY YEARS IN INDONESIA. AIDIT S WHEREABOUT NOT RPT NOT KNOWN
AND RALLYING CALL TODAY AMONG NON-COMMUNIST
PAGE TWO RUMJBT 373A SECRET
ELEMENTS IS HANG AIDIT . AT LEAST ONE TOP PKI
LEADER TAKEN INTO CUSTODY (NJONO) AND THERE UNCONFIRMED REPORTS THAT
ANOTHER (NJOTO) HAS BEEN SEIZED. PKI ORGANIZATIONAL APPARATUS HAS
BEEN DISRUPTED AND PARTY DOCUMENTS DISPERSED.THIS CAPPED TODAY WITH
BURNING OF PKI HEADQUARTERS IN DJAKARTA.
B. AT SAME TIME, VIRTUALLY ALL MUSLIM AND
CHRISTIAN ORGANIZATIONS HAVE RALLIED BEHIND ARMY, AND EVEN PNI, WHICH
LONG FACTOR IS EXISTENCE OF GOOD PKI UNDERGROUND NETWORK WHICH COULD
IN ANY EVENT CONTINUE CAUSE TROUBLE FOR ARMY.
3. WHILE KIAPMA (ANTI-FOREIGN MILITARY BASES
CONFERECE SCREDULED OPEN OCT ) MIGHT PROVIDE MEANS FOR SUKARNO
ATTEMPT RALLY NEKOLIM SPIRIT AND DROWN INTERNAL DISAGREEMENT IN
BIGGER INTERNATIONAL CAMPAIGN, CONDITIONS IN CITY, INCLUDING STRICT
12-HOUR CURFEW, ARE NOT CONDUCIVE TO ENTERTAINING FOREIGN VISITORS OR
HOLDING INTERNATIONAL CONFERENCE.
INDICATIONS ARE THAT SUKARNO AND SUBANDRIO ARE
TRYING TO PIN INTERNAL AFFAIR ON NEKOLIM , AND MAY BE EXPECTED TO
COME OUT WITH SPECIFIC CHARGES AGAINST US AND PROBABLY CIA. ALTHOUGH
KIAPMA WOULD PROVIDE EXCELLENT SOUNDING BOARD FOR THIS THEME, WE
THINK IT HIGHLY UNLIKELY THAT SUCCESSFUL CONFERENCE CAN BE HELD ON
SCREDULE.
4. ARMY NOW HAS DECIDED EDGE. QUESTION IS, WHAT
WILL ARMY DO WITH ITS ADVANTAGE? IT LIKELY ARMY WILL COLLECT EVIDENCE
OF INVOLVEMENT PKI AND ITS OTHER ENEMIES IN 30 SEPT AFFAIR. IT MAY
WELL FIND EVIDENCE THAT SUKARNO INVOLVED, AND IF SO THIS MIGHT FORCE
LESS OBSTINATE LINE.
PAGE FIVE RUMJBT 373A SECRET
FROM PRESIDENT .
IF ARMY LEADERS REALIZE THAT THIS IS MOMENT OF TRUTH AND HAVE
DETERMINATION TO STAND UP TO SUKARNO THEY CAN WIN. ARMY NOW SHOWS NO
INTENTION OF OPENLY DITCHING SUKARNO AND WILL PROBABLY FEEL NEED TO
USE HIS NAME FOR SOME TIME. IF ARMY CAMPAIGN LOSES MOMENTUM AND POWER
IS ALLOWED TO SLIP BACK TO SUKARNO, LATTER LIKELY EVENTUALLY TO
RETALIATE BY RESORTING TO EVEN MORE VIOLENT TACTICS AGAINST INTERNAL
OPPOSITION. HOWEVER, EVEN IF THIS HAPPENS, SUKARNO CAN NEVER AGAIN
RULE AS HE ONCE DID. THE IMAGE OF THE GREAT LEADER IS TARNISHED
ALTHOUGH IN THE SHORT RUN HE CAN CERTAINLY CAUSE THIS COUNTRY S
NON-COMMUNIST ELEMENTS, AND THE UNITED STATES, A GREAT DEAL OF
DIFFICULTY.
GP-3. GREEN
BT
Note: Advance Copy to S/S-O at 1:20 a.m., October
9
Passed NSA, USIA, USUN at 1:30 a.m., October 9
copy
Lyndon B. Johnson Library
Dokumen keenam, Telegram rahasia Sekretariat
Negara, kode DDRS R: 608 E, tanggal 8 Oktober 1965, dikirim dari
kedubes AS di Jakarta, ditujukan ke Washington dan berbagai kedubes
AS di Canberra, Bangkok, Hongkong, Kuala Lumpur, London, Manila dan
Tokio. Berisi 7 pokok situasi Indonesia setelah seminggu pembunuhan
terhadap para pimpinan tentara:
(1) PKI dan Soekarno diduga terlibat dalam
peristiwa tersebut,
(2) komunis cerai berai dan Aidit melarikan diri,
(3) penangkapan Nyono, Nyoto
dikejar-kejar,pembakaran kantor-kantor PKI,
(4) semua organisasi islam dan Kristen bergabung
dengan tentara,
(5) dalam KIAPMA, konferensi anti basis-basis
militer luar negeri yang dijadwalkan Oktober, diperkirakan akan
dipakai Soekarno dan Subandrio untuk propaganda melawan AS dan CIA,
(6) tentara terus mencari bukti-bukti keterlibatan
PKI, dan
(7) para pimpinan tentara mulai sadar bahwa inilah
saatnya bangkit melawan Sukarno, tapi di lain pihak menyadari mereka
tetap membutuhkan namanya, untuk memenangkan pertarungan tersebut
-
SIKLUS INTELIJEN CIA DALAM GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965
Dalam melakukan kegiatan intelijennya, CIA
melakukan siklus intelijen yang meliputi Planning,
Collection,Process,Analysis, dan
Dissemination.
Planning, kegiatan ini senantiasa dilakukan oleh badan intelijen
termausk Central Intelligence Agency (CIA) dalam rangka menyusun
Standart Operasional Procedure (SOP) yang digunakan pimpinan atau
pengambil kebijakan untuk menentukan keputusan dan langkah yang akan
dilakukan selanjutnya. Kegiatan dalam proses planning ini yaitu
menyusun rencana mengenai tindakan-tindakan apa saja yang harus
dilakukan agar Soekarno turun dari kursi kepresidenannya. Rencana
menumbangkan Presiden RI sudah dimulai sejak Mei 1955, sebulan
setelah Sukarno menggalang gerakan non-blok lewat konferensi Asia
Afrika di Bandung. Dewan Keamanan Amerika (National Security
Council-NSC) menggariskan kebijakan itu. Pada dokumen NSC 5518,
yang dibuka pada 1994, dinyatakan jelas bahwa operasi
rahasia menjatuhkan Sukarno perlu dilakukan jika ia semakin memberi
angin kepada partai sayap kiri.
Telah disebutkan bahwa Sebuah komisi NSC
menyetujui proposal pada Maret 1965 yang diikuti 'intermediate
memorandum' pada bulan Juli, dan SNIE pada bulan September, mengenai
hal-hal yang terkait di Indonesia dan Malaysia. Walau pun demikian,
Amerika Serikat tidak mengantisipasi tingkat intensitas gerakan
pembersihan yang dilakukan oleh TNI terhadap PKI.Proposal tersebut
membahas mengenai aksi-aksi rahasia, misalnya “menyokong
kelompok-kelompok antikomunis yang ada,” “operasi-operasi black
letter [surat kaleng]” dan “operasi-operasi media.” Rencananya
adalah “menggambarkan PKI sebagai penentang Soekarno dan
nasionalisme yang sah yang semakin ambisius dan berbahaya,” dan
dengan demikian menyatukan semua elemen nonkomunis untuk melawan PKI.
Proposal ini menyebutkan bahwa “tokoh-tokoh nasionalis terkemuka”
di Indonesia telah diberi “sejumlah dana” melalui
“saluran-saluran yang aman,” sehingga mereka bisa “mengambil
langkah perintang terhadap PKI.” Salah satu tujuan kegiatan ini
adalah mendorong koordinasi dan persetujuan umum antar elemen-elemen
anti komunis di Indonesia. Program ini konsisten dengan kebijakan
Amerika yang berusaha membentuk Indonesia menjadi negara anti-komunis
yang stabil.
Selain rencana utama CIA untuk mengganti kepemerintahan Soekarno
melalui Gerakan 30 September 1965, Badan intelijen ini juga
senantiasa melakukan proses perencanaan setiap akan melakukan suatu
tindakan. Seperti yang telah disebutkan, bahwa proses perencanaan
merupakan awal dan akhir dari siklus intelijen, akhir dari siklus
intelijen merupakan awal proses perencanaan untuk keputusan yang
diambil dan langkah yang akan dilakukan setelahnya. Misalnya, rencana
pemberian bantuan melalui Angkatan Darat agar dapat melancarkan CIA
memicu terjadinya tindakan selanjutnya yaitu pembentukan Dewan
Jenderal yang digunakan untuk memancing PKI melakukan serangan
terhadap isu adanya Dewan Jenderal tersebut.
Collection, proses pengumpulan adalah suatu hal yang rutin dilakukan
oleh badan intelijen, proses ini selalu muncul dalam kegiatan
intelijen. Pengumpulan informasi atau data dapat dilakukan melalui
sumber terbuka maupun tertutup, data atau informasi dari sumber
terbuka dapat diperoleh lebih mudah, namun data melalu sumber
tertutup dapat digunakan untuk melengkapi informasi yang tidak
diperoleh melalui sumber terbuka. CIA telah lama melakukan proses
pengumpulan, untuk menjalankan tujuan utamanya yaitu “badan
independen yang bertanggung jawab menyediakan informasi intelijen
bagi keamanan nasional Amerika Serikat” CIA senantiasa mengumpulkan
informasi dari dunia Internasional yang dinilai mempengaruhi keamanan
Amerika Serikat.
Dalam peristiwa G30S, CIA memiliki perhatian amat intensif terhadap
politik Indonesia. Intensitas itu terungkap dari ratusan dokumen CIA
yang telah dibeberkan. Pada 3 Oktober 1965,
misalnya, terungkap laporan dari Direktur Wilayah Timur Jauh,
FJ Blouin, kepada Pejabat International Security Affair,
McNaughton. Blouin memaparkan secara rinci situasi dan kontak-kontak
dengan pejabat di Indonesia. Ia kemudian memprediksi yang akan
terjadi. Menurut dia, jika tentara merayakan Hari TNI
pada 5 Oktober dengan prosesi besar-besaran karena kematian para
jenderalnya, hal ini menjadi mementum tentara mengambil
posisi menentukan.
Seperti terungkap di situs CIA.gov, memo singkat seputar G30S 1965
ini terungkap dari ratusan dokumen rahasia CIA yang diungkap ke
publik karena status kerahasiaannya sudah kadaluarsa. Memo tersebut
masuk dalam Petunjuk Harian untuk Presiden (President’s Daily
Brief/PDB), yang merangkum laporan CIA atas kejadian di
berbagai negara di seluruh dunia yang tengah dilanda situasi politik
ataupun peperangan. Dalam memo bertanggalkan 2 Oktober 1965 tersebut,
posisi laporan Indonesia paling atas, disusul tujuh negara lainnya,
yakni Vietnam, Dominika. Kuba, Brasil, Perancis, Mesir dan Yunani.
Dalam memo singkat tersebut, dilaporkan situasi Indonesia saat
terjadi kudeta 30 September 1965 diikuti kontra kudeta. Dilaporkan
situasinya membingungkan, dan hasilnya tidak pasti. “Jika ada peran
Sukarno, itu masih merupakan salah satu pertanyaan yang tak terjawab.
Kedua pihak mengklaim setia kepada presiden dan mengatakan sama-sama
melindungi presiden”. Disebutkan juga kondisi ibu kota, sangat
tenang, meski beberapa aksi unjuk rasa menentang partai komunis
bermunculan. Sementara di berbagai daerah ketegangan mulai terjadi,
terutama di wilayah basis pendukung partai komunis yang mendukung
aksi kolonel Untung.
Sejak awal September 1965, hampir tiap hari ada laporan tentang
Indonesia di sana. Secara garis besar, pembahasan tentang Indonesia
itu berkutat pada pemerintahan Soekarno yang anti-Barat, pergulatan
internal di militer Indonesia, dan kegagalan Partai Komunis Indonesia
merebut kekuasaan. PDB 24 Oktober 1965 mengatakan ada dua
pemerintahan di Indonesia. Satu dikepalai oleh Soekarno, dan satunya
lagi oleh para jenderal. ''Keduanya seperti saling membutuhkan untuk
mencegah pecahnya perang sipil,'' demikian bunyi PDB hari itu. Pada
14 September 1965, misalnya, pihak CIA tersinggung dengan sikap
Menteri Luar Negeri Subandrio yang menjamin fasilitas diplomatik AS
tidak diganggu atau dirusak massa anti-Barat.Padahal mereka tahu
bahwa gerakan anti-Barat dan AS yang beberapa kali menyerang Konsulat
Jenderal AS di Surabaya dan Medan itu dirancang di ruang belakang
rumah pribadi Subandrio. “Subandrio put on one of his shameless
performance...,” demikian bunyi cuplikan PDB tersebut.
Sejak peristiwa G-30-S, topik Indonesia dalam PDB rutin berisi
tentang upaya Soekarno membela PKI sementara militer berusaha
memberangus PKI dan ormas-ormasnya.
PDB 26 November 1965, terungkap bahwa Konjen Indonesia di Hong Kong
diinstruksikan oleh TNI mengontak pejabat AS untuk memperoleh bantuan
ekonomi.Dan pada 13 Desember 1965, perwakilan TNI mendekati Kedutaan
besar AS untuk minta bantuan pembiayaan impor beras dan bantuan
ekonomi umum lainnya. Seorang anggota perwakilan menyatakan, Soekarno
tidak mau minta bantuan dari AS. Tapi Soekarno akan tutup mata bila
TNI diam-diam minta bantuan ke AS. Pada periode
September-Desember 1965 jugalah bisa terlihat perubahan hubungan
diplomatik AS dengan Indonesia. Dari yang semula memanas lantaran
sikap Soekarno terhadap Barat, sampai gelagat rekonsilisasi karena
peran Soeharto dan militer yang cenderung lebih bersahabat dengan
mereka.
Selain dalam PDB, laporan mengenai situasi di Indonesia juga
senantiasa dikumpulkan oleh CIA, misalnya pada memorandum
bertanggalkan 18 November 1965. CIA menyatakan "Partai Komunis
bersiap bentrok dengan tentara dalam beberapa hari mendatang.
Sebaliknya, faksi di militer terus mencari celah melemahkan kekuatan
PKI." Meskipun dokumen tersebut dapat diakses public, namun
banyak bagian yang tetap disembunyikan, karena terdapat informasi
sensitif walaupun telah melewati 50 tahun masa kadaluarsa dokumen
tersebut.
Process, kegiatan proses juga meliputi kegiatan penyaringan dan
pengklasifikasian data. Suatu badan intelijen melakukan proses untuk
mempermudah pelaksanaan tahap selanjutnya. Pada tahun 1998,
pemerintah Amerika mengklasifikasikan sejumlah dokumen yang
menggambarkan berbagai operasi rahasia di Indonesia. Kesuksesan dari
strategi CIA di Indonesia digunakan lagi untuk menggulingkan Presiden
Cile, Salvador Allende melalui kudeta tentara pimpinan Jendral Agusto
Pinochet dengan nama sandi " Jakarta Operation."
Selain klasifikasi berdasarkan operasi intelijen di Indonesia.
Terdapat pula klasifikasi menurut tingkat kerahasiaan dokumen,
klasifikasi menurut tingkat kerahasiaan yaitu top secret, secret dan
confidential. Dalam arsip CIA, semua informasi yang disampaikan dalam
PDB itu diklasfikasikan sebagai top
secret. Walau sebenarnya, menurut Direktur CIA
pada tahun 2015, John Brennan, ada beberapa informasi yang sumbernya
tidak terlalu rahasia. Misalnya, dari laporan diplomatik rutin,
bahkan dari pemberitaan media massa. ''Labelisasi itu untuk
menyederhanakan Presiden saat membacanya,'' dengan kata lain, PDB
merupakan analisis intelijen yang aktual dengan perkembangan isu di
masanya, atau menyesuaikan dengan minat Presiden AS. Dan dari 2.500
dokumen PDB yang dipublikasikan pada tahun 2015, tercermin adanya
perhatian lebih yang dialokasikan oleh Pemerintah AS terhadap
komunisme, perjuangan kemerdekaan negara-negara Asia-Afrika, dan juga
Indonesia.
Analysis, yang dilakukan pada tahap ini adalah
analisa secara utuh dari data yang tersedia. Data yang tersedia
kemudian disatukan menjadi satu kesatuan analisa yang utuh, serta
meletakkan informasi yang telah dievaluasi dalam konteksnya. Output
yang diperoleh adalah produk intelijen yang mencakup penilaian
terhadap sebuah peristiwa serta perkiraan akan dampaknya terhadap
keamanan nasional.
Analisis yang dilakukan CIA tampak pada memorandum
maupun President’s Daily Brief (PDB) yang diterbitkan oleh badan
intelijen tersebut. Salah satu analisa CIA yaitu mengenai Partai
Komunis Indonesia bernomor CIA-RDP78-02646R000300150001-8 tahun 1955
yang digunakan untuk menentukan tidakan yang akan dilakukan demi
tercapainya tujuan CIA yang dinilai menjaga keamanan negaranya untuk
membendung meluasnya komunisme di dunia.
Analisis secara utuh mengenai Gerakan 30 September 1965 juga
dilakukan oleh CIA pada tahun 1968. Analisis CIA tersebut terangkum
dalam laporan berjudul “CIA Research Study, Indonesia-1965: The
Coup That Backfired”.
Dissemination adalah distribusi produk intelijen
kepada pengguna maupun pengambil kebijakan yang biasanya adalah pihak
yang meminta informasi kepada intelijen. Dalam hal ini, CIA
memberikan laporan harian kepada Presiden Amerika Serikat selaku
pengambil kebijakan yang harus dilakukan selanjutnya. Hal ini
dilakukan secara harian dalam President’s Daily Brief (PDB).
Briefing harian Presiden merupakan dokumen paling
rahasia dan sensitif di pemerintahan. Karena, briefing tersebut
mewakili dialog harian komunitas Intelijen dengan Presiden selaku
pengguna intelijen, dan juga menjadi bahan pertimbangan penting dalam
menjawab tantangan serta berbagai peluang terkait dengan keamanan
nasional Amerika Serikat.
PDB dimulai sejak kepresidenan Kennedy. Di masa awal pemerintahannya,
ia sering merasa kerepotan dengan rumit dan banyaknya laporan
intelijen yang masuk. Oleh karena itu, Robert Kennedy yang menjabat
Kepala Staf Kepresidenan, meminta CIA untuk membuat laporan singkat
tentang topik-topik penting yang harus diketahui Presiden. Penjelasan
untuk masing-masing topik tidak boleh lebih dari dua kalimat, dan
harus dibuat dengan bahasa yang sederhana agar mudah dimengerti.
Awalnya, dokumen briefing itu dikenal dengan sebutan
Pickle, kependekan dari President's Intelligence Checklists, Ide ini
ternyata sangat sukses, dan terus dipertahankan sampai sekarang. Bila
dulu Pickle dan PDB dimuat dalam bentuk beberapa lembar kertas dalam
sampul cokelat, kini PDB untuk Presiden Amerika Serikat dapat
berbentuk laporan di iPad dengan tautan untuk lampiran-lampirannya.
Isi PDB dapat sangat beragam, tergantung minat sang Presiden dan
beberapa hal penting menurut CIA. Mulai dari terorisme, kelaparan,
hingga perang. Atau ada juga laporan tentang respons Rusia terhadap
penampilan kelompok Ballet New York di Moskow. Bahkan, ada juga
analisis mengenai respons publik mengenai New York Yankees yang
memecat Yogi Berra. Dalam hal ini, PDB periode September-Desember
1965 menggambarkan panas-dingin hubungan diplomatik
Indonesia-Amerika.
B A B V
PENUTUP
-
SIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya,
kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
-
Upaya penggulingan Presiden Soekarno dilakukan oleh Amerika Serikat sejak Soekarno mengemukakan gagasan tentang perlunya sistem politik Demokrasi Terpimpim (1956), kemudian meminta bantuan Uni Soviet untuk pembebasan Irian Barat (1962), membentuk poros Jakarta-Peking-Pyongyang dan melakukan konfrontasi dengan Malaysia (1964), Amerika Serikat tidak senang dengan tindakan-tindakan Soekarno yang ingin menjadi pemimpin baru bagi Negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin itu. Karena itu, dilakukan berbagai upaya untuk menurunkan Soekarno yang puncaknya pada Gerakan 30 September 1965.
-
Keterlibatan CIA dalam Gerakan 30 September 1965 dilakukan melalui Angkatan Darat yang dipercaya akan mengurangi atau menghilangkan keberadaan PKI di Indonesia yang dinilai semakin meluas karena kedekatannya dengan Presiden Soekarno. Para pejabat AS berulang kali memberi tahu jenderal-jenderal pimpinan Angkatan Darat bahwa Amerika Serikat akan mendukung mereka jika mereka bergerak melawan PKI.Bantuan yang diberikan berupa uang, alat transportasi dan alat komunikasi. Keterlibatan Amerika juga dibuktikan dengan beberapa dokumen pemerintah Amerika yang mengindikasikan keterlibatannya dalam Gerakan 30 September 1965.
-
Siklus intelijen yang dilakukan oleh badan intelijen Amerika Serikat CIA pada Gerakan 30 September 1965 meliputi Planning, Collection, Process, Analysis dan Dissemination yang dilakukan untuk mencapai tujuan yaitu menghapuskan komunisme di dunia.
-
SARAN
Berdasarkan pembahasan yang telah dikaji, penulis memberikan saran
sebagai berikut :
-
Perlu adanya kajian lebih lanjut mengenai Gerakan 30 September 1965 dan disertai dengan bukti nyata.
-
Perlunya dibangun hubungan baik antara pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat.
-
Perlu ditingkatkannya independensi kepemerintahan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.2011.
“G 30 S PKI”. Dalam www.bisnet.or.id.
Diakses pada 06 Juli 2017 pukul 16.00 WIB
Anonim.
2012. “Kitab Merah: Kumpulan Kisah-Kisah Tokoh G30S/PKI”. Dalam
www.academia.edu. Diakses pada
06 Juli 2017 pukul 15.13 WIB
Badan
Intelijen Negara.2012.”Mengenal Lebih Dekat Badan Intelijen Asing”.
Dalam http://www.bin.go.id/.
Diakses pada 06 Juli 2017 pukul 15.45 WIB
Biker.2013.”Pengertian
dan Arti Aktivitas”. Dalam http://hondacbmodifikasi.com.
Diakses pada 04 Juli 2017 pukul 01.17 WIB
Brands, H.W. 1989. The
Limits of Manipulation: How the United States Didn’t Topple
Sukarno. America: Th e Journal of
American History
Central Intelligence Agency. 1968. Indonesia
– 1965: The Coup that Backfired.
Washington:CIA
Department of State. 2001. Indonesia,
Malaysia-Singapore, Philippines. Vol. 26 dari Foreign Relations of
the United States 1964-1968.Washington
D.C.: U.S. Government Printing Office
Green,
Marshall. 1992. Dari
Sukarno ke Soeharto: G30S-PKI dari Kacamata Seorang Duta Besar,
Terjemahan. Jakarta:
PT Pustaka Utama Grafiti
Jenkins, David. 1984.Suharto
and his Generals: Indonesian Military Politics 1975-1983.
Ithaca: Cornell University Modern Indonesia Project
Jones, Howard. 1971. Indonesia:
The Possible Dream. New York: Harcourt
Brace Jovanovich
Kadane, Kathy.1997. Letter to the editor [Surat
kepada redaktur].America: New York Review of Books
Kahin,
Audrey R dan Kahin, George McT. 1997. Subversi
sebagai Politik Luar Negeri: Mengungkap Keterlibatan CIA di
Indonesia, Terjemahan. Jakarta:
PT Pustaka Utama Grafiti
Lesmana,
Tjipta. 2005. Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi Permasalahan dan Prospeknya.
Tangerang : Universitas Pelita Harapan
Maharani.2012.
“CIA dan Misteri G30S”. Dalam
http://coklatbercerita.blogspot.co.id.
Diakses pada 08 Juli 2017 pukul 07.21 WIB
Manuputty,
Cavin R..2015. “Membuka Tabir G30S: Hari-hari Indonesia di Mata
CIA”. Dalam www.gatra.com.
Diakses pada 07 Juli 2017 pukul 03.19 WIB
Maulani,
Z.A. 2008. Intel oh
Intel.[pdf].
Diakses pada 25 Juni 2017 pukul 10.34 WIB
National
Security Council.1960. “U.S Policy on Indonesia, NSC6023, 19
Desember 1960”. Dalam www.serbasejarah.files.wordpress.com.
Diakses pada 06 Juli 2017 pukul 15.13 WIB
Republik
Indonesia. 2011. Undang-Undang nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen
Negara.[pdf]. Jakarta: Sekretariat Negara RI.
Robinson, Geoffrey.1995. Th e Dark Side of
Paradise: Political Violence in Bali. Ithaca: Cornell University
Press
Roosa,
John. 2008. Dalih
Pembunuhan Masal:Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto.
Jakarta: Hasta Mitra
Scott,
Peter Dale. 1999. CIA
dan Penggulingan Sukarno, Terjemahan.
Yogyakarta : Lembaga Analisis Informasi
Setiyono, Budi, dan Bonnie, Triyana. 2003.
Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Sukarno 30 September
1965 – Pelengkap Nawaksara. 2 vol.
Semarang: MESIASS
Simpson, Bradley R. 2003. Modernizing
Indonesia: United States-Indonesian Relations, 1961-1967. Disertasi
Ph.D. Chicago: Northwestern University
Sudarsono, Gendur. 2015. “G30S 1965 : Lima Jejak
Keterlibatan Amerika”. Dalam www.indonesiana.tempo.co/.
Diakses pada 08 Juli 2017 pukul 06.42 WIB
Sundhaussen, Ulf. 1982. The
Road to Power: Indonesian Military Politics 1945-1967.
Oxford: Oxford University Press
Suwirta, Andi. 2000. “Mengkritisi Peristiwa G30S
1965: Dominasi Wacana Sejarah Orde Baru dalam Sorotan”. Dalam
www.file.upi.edu/. Diakses
pada 19 Juni 2017 pukul 13.28 WIB
Tovar, B. Hugh. 1994. The
Indonesian Crisis of 1965-1966: A Retrospective
. America : The International Journal of Intelligence and
Counterintelligence
Winters, Jeffrey. 1996.Power
in Motion: Capital Mobility and the Indonesian State.
Ithaca: Cornell University Press
Comments
Post a Comment